Bab I
Pendahuluan
a. Latar Belakang
Kaidah fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum, yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih spesifik menjadi beberapa kelompok, juga merupakan pedoman yang memudahkan penyimpulan hukum bagi suatu masalah yaitu dengan cara menggolongkan masaslah-masalah yang serupa dibawah satu kaidah.
Hukum fiqih meliputi peraturan didalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan khaliknya, dan hubungan manusia dengan sesama manusia. Yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan dengan situasi tertentu, maka mengetahui kaidah-kaidah yang juga berfungsi sebagai pedoman berfikir dalam menentukan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya, adalah perlu sekali.
b. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dan Identitas Kaidah al-Baqa’ wa al-Ibtida’ (Kelanjutan dan Permulaan) ?
2. Apa Pengertian dan Identitas Kaidah al-Shurut (Syarat) ?
3. Apa Pengertian dan Identitas Kaidah al-Tasarruf wa al-Milk (Tindakan Hukum terhadap Harta dan Kepemilikan ?
c. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui Pengertian dan Identitas Kaidah al-Baqa’ wa al-Ibtida’ (Kelanjutan dan Permulaan)
2. Untuk mengetahui Pengertian dan Identitas Kaidah al-Shurut (Syarat)
3. Untuk mengetahui Pengertian dan Identitas Kaidah al-Tasarruf wa al-Milk (Tindakan Hukum terhadap Harta dan Kepemilikan
Bab II
Pembahasan
A. Kaidah tentang al-Baqa wa al-Ibtida (kelanjutan dan permulaan)
Kaidah 1
a. Teks dan arti Kaidah
الْبَقـاَءُ أَسْهَلُ مِنْ الـِابْتِدَاءِ
|
Sesuatu yang sudah ada (berlangsung) lebih mudah daripada permulaan
|
b. Maksud dan penjelasan Kaidah
Adapun maksud dari kaidah ini adalah sesungguhnya sesuatu yang tidak boleh dilakukan secara permulaan. Akan tetapi boleh dilanjutkan (dibiarkan), jika sudah terlanjur ada. Karena sesuatu yang sudah ada (berlangsung) lebih mudah dimaklumi daripada permulaannya. Sebagaimana mencegah lebih mudah daripada mengobati. Maka membiarkan sesuatu yang sudah terlanjur ada/terjadi itu tidak ada hukumnya, artinya bisa dimaafkan oleh orang lain atau diampuni Allah SWT. Akan tetapi, jika sesuatu itu dimulai lagi untuk kedua kalinya dengan kondisi tahu bahwa itu tidak boleh (dilarang), maka ketika itu hukum jelas tidak boleh, karena memang asalnya tidak boleh. Namun kaidah ini hanya cocok untuk bidang muamalah dan tidak cocok untuk bidang ibadah, sebagaimana akan dijelaskan pada penjelasan kaidah berikutnya.
c. Aplikasi Kaidah
Diantara contoh aplikasi kaidah ini dalam fiqh muamalah adalah ketika seseorang yang ingin menjual ikan-ikannya yang diletakkan kedalam tempat penampungan ikan yang dekat dengan sungai misalnya. Pada waktu sebelum dilaksanakan akad jual beli ikan tersebut meloncat kedalam sungai, maka jual beli tersebut tetap sah (diperbolehkan), berbeda ketika penjual ingin menjual ikan-ikannya yang pada waktu sebelum akad barang yang dijual tidak ada tempat, maka akad jual belinya tidak sah.
Begitu juga, seseorang yang selama ini menggunakan uang haram seperti uang hasil riba yang ia dapat dari temannya atau keluarganya dan ia tidaklah mengerti bahwa uang itu ialah uang haram. Maka ketika ia mengetahui mengenai keharaman uang itu, maka tidaklah wajib baginya untuk mengembalikan uang tersebut. Akan tetapi ia tidak dibolehkan lagi menggunakan uang itu lagi untuk menghasilkan sesuatu.
Atau seperti seseorang yang mempunyai dua rumah yang berhadapan di sisi jalan umum. Kemudian jika ia ingin membangun jembatan yang menghubungkan keduanya, maka hal itu dilarang. Namun jika jembatan itu sudah terlanjur jadi, maka dibiarkan saja. Selama tidak membuat bahaya bagi orang lain (pengguna jalan itu). Karena sesuatu yang sudah ada (berlangsung) lebih mudah (dimaklumi) daripada memulai sebagai permulaan.
Kaidah 2
a. Teks dan arti Kaidah
يُغْتَفَـرُ فِي الْبَـقَـاءِ مَـا لـَا يُغْتَفَـرُ فِي الِـابْتِدَاءِ
|
Ada dispensasi (dimaafkan) untuk sesuatu yang sudah ada (sedang berlangsung), tapi tidak dimaafkan pada permulaannya
|
b. Maksud dan penjelasan Kaidah
Oleh sebagaian ulama, kaidah ini dianggap cabang dari kaidah sebelumnya. Sebagian ulama selain mazhab Hanafi menganggap bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara kaidah ini dan kaidah sebelumnya. Hemat penulis, memang tidak ada perbedaan yang prinsip antara kedua kaidah ini. Namun kaidah ini bisa menjadi pelengkap dan penjelas bagi kaidah sebelumnya.
Adapun maksud kaidah ini adalah diampuni atau dipermudah segala sesuatu yang telah ada , akan tetapi tidaklah bagi hal yang akan dimulai. Maka kaidah ini bisa dikatakan sejalan dengan konteks istishab yang mensahkan hal yang telah berlaku sejak lama, meskipun dimasa lalu ia dimulai dengan cara tidak syar'i, selama ia digunakan untuk mempertahankan hak dan bukan untuk menuntut hak dari orang lain.
Kaidah ini merupakan kebalikan dari kaidah "yughtafar fi al-ibtida' ma la fi al-baqa'/al-dawam (ada dispensasi dimaafkan) untuk sesuatu yang permulaan, tetapi tidak dimaafkan pada sudah ada (sedang berlangsung). Oleh karena itu, tidaklah heran apabila beberapa ulama berbeda pendapat tentang kaidah ini. Salah satunya ialah ulama-ulama Malikiyyah. Bagi ulama Malikiyyah, yang telah berlangsung itu sama dengan yang akan berlangsung (الد وام كالأبتداء), apabila hal itu mengakibatkan kepada pelarangan dan perusakan atas suatu pekerjaan.
Hal tesebut dicontohkan dengan shalat yang dimulai dengan adanya najis yang menempel ataupun adanya najis yang secara tiba-tiba ada pada tempat shalat di kala kita sedang melaksanakan shalat. Dimana apabila ditengah pelaksanaan shalat kita mengetahui adanya najis tersebut, maka kita diharuskan melepaskannya. Hal ini dikuatkan pula dengan pelepasan sandal Rasul SAW ditengah-tengah melaksanakan shalat. Ketika itu beliau mencopot sandalnya dan lalu menginjaknya (tidak memakainya) ditengah-tengah pelaksanaan shalat karena Jibril AS memberitahu bahwa najis menempel pada alas sandal Rasul SAW. maka baik larangan itu telah berlangsung atau akan berlangsung, bila mengakibatkan rusaknya atau batalnya sebuah pekerjaan, maka ia tidak ada rukhsah baginya. Bila memang yang tengah berlangsung itu mendapatkan dispensasi, maka tidaklah perlu bagi Rasul SAW untuk melepas sandal yang ia gunakan. Karena pada hakekatnya pada permulaannya beliau tidaklah mengetahui adanya kotoran tersebut disandal Beliau SAW. Maka kaidahnya adalah kebaikan dari kaidah ini, yaitu: "Yughtafar fi al-ibtida' ma la yughtafar fi al-baqa'al-dawam.
Namun penulis, ada perbedaan antara fiqh ibadah dalam contoh najis diatas dengan fiqh muamalah. Sehingga perbuatan Nabi SAW diatas tidak bisa dipaksakan terjadi pada fiqh muamalah. Oleh karena itu, kaidah ini dan kaidah sebelumnya bisa dan cocok diaplikasikan dalam bidang muamalah, tapi tidak bisa dan kurang cocok diaplikasikan dalam bidang ibadah. Maka kaidah yang tepat untuk bidang ibadah adalah lawan dari kaidah ini, yaitu: "Yughtafar fi al-ibtida' ma la yughtafar fi al-baqa'/al-dawam.
c. Aplikasi Kaidah
Karena maksud kaidah ini tidak jauh berbeda dengan kaidah sebelumnya, maka contoh aplikasinya pun sama persis dengan kaidah sebelumnya (kaidah 1). Misalnya jika seseorang melakukan akad dengan harga yang ditangguhkan sampai batas waktu yang tidak jelas, semisal waktu panen, maka akad ini tidak sah. Namun jika dia melakukan akad dan terlepas dari penangguhan harga, kemudian dia menangguhkan pembayaran sampai panen, maka sah akadnya.
B. Kaidah tentang al-Shurut (Syarat)
Kaidah 1
a. Teks dan arti Kaidah
يَلْـــزَمُ مُرَاءَــا ةُ الشَّــرْطِ بِقَــدْ رِالْـأِمْكـَانِ
|
Wajib mempertimbangkan keberadaan syarat sebisa mungkin
|
b. Maksud dan penjelasan Kaidah
Maksud dari kaidah ini adalah kewajiban memenuhi persyaratan yang diminta salah satu dari kedua belah pihak yang bertransaksi dan disepakati bersama. Namun sesungguhnya kewajiban memenuhi syarat dalam sebuah transaksin (akad) adalah jika sesuai kemampuan. Oleh karena itu, jika syarat yang diminta diluar kemampuan, maka hal dalam fiqh tidak wajib untuk dipenuhi. keberadaan syarat itu harus diperhatikan dalam berbagai hal dalam fiqh muamalah, karena syarat yang sudah disepakati atau disanggupi adalah merupakan suatu komponen yang harus ada, karena jika suatu syarat itu tidak dipenuhi maka tidak akan terjadi suatu akad (tidak sah). Namun di samping syarat itu harus bisa atau mungkin dilakukan, juga suatu syarat haruslah dibolehkan syariat (shart ja'iz) atau minimal tidak bertentangan (didiamkan) syariat (shart maskut).
Sebab-sebab syarat ini tidak lepas dari empat keadaan, yaitu: 1). Syarat-syarat yang ditetapkan syariat kebolehannya (shart ja'iz). Ini diperbolehkan seperti syarat khiyar, 2). Syarat-syarat yang salah dan diabaikan tapi tidak membatalkan akad (shart fasid/shart laghw) ini jelas dilarang seperti syarat pada pembeli agar tidak menjual lagi barangnya, 3). Syarat-syarat yang membatalkan akad (shart batil) ini jelas-jelas merusak dan membatalkan akad seperti syarat pada pembeli yang tidak boleh memanfaatkan barang yang dibelinya, dan 4). Syarat-syarat yang didiamkan oleh syariat (shart maskut) ini kembali ke hukum asalnya.
Sebagian ulama membagi syarat yang shahih dalam muamalah menjadi tiga, yaitu: 1) syarat termasuk tuntutan akad transaksi (شروط من مقتضـى العقد), seperti pembayaran kontan dengan penyerahan barang, 2) syarat termasuk kemaslahatan akad (مصلحة العقدشروطمن), seperti syarat tempo,gadai,atau syarat bentuk barang dan 3) syarat memanfaatkan barang yang didagangkan (المبيع في المعلوم شروط انفا ع), seperti syarat mengantarkan pulang dengan kendaraan yang dijual atau syarat menggunakan rumah yang dijual dalam waktu tertentu oleh penjual. Maka, syarat yang boleh itu haruslah bisa mencakup ketiganya (semua atau dua diantaranya atau minimal salah satunya, yaitu: tidak menyelisihi tuntutan akad dan tidak pula maksudnya serta memiliki maslahat dan manfaat untuk akad itu.
Adapun kapan waktu syarat-syarat itu ditetapkan sebelum akad, yaitu ketika dua transaktor tersebut menyepakati syarat tersebut. Alhasil, pada prinsipnya dalam akad harus mempertimbangkan dan memenuhi keberadaan syarat sebisa mungkin (semampunya) dalam seluruh bidang fiqh, terutama fiqh muamalah. Karena keabsahan sebuah akad sangat bergantung kepada pemenuhan syarat-syarat yang sudah disepakati sebelumnya.
c. Aplikasi Kaidah
Diantara contoh aplikasi kaidah ini dalam fiqh Muamalah adalah jika seorang pemilik harta dalam akad mudharabah mensyaratkan satu syarat kepada mudharib (pekerja) dalam sebuah bisnis, seperti "dengan syarat untuk tidak keluar dari negaramu", maka itu adalah persyaratan yang mengikat yang wajib ditaati, ini dalam fiqh muamalah dikenal dengan istilah mudharabah muqayyadah.
Kaidah 2
a. Teks dan arti Kaidah
الْمُعَلًّــقُ بِا لشَّــرْطِ يَجِـبُ ثُبُوتُـهُ ءِنْدَ تُبُو تِ الشَّرْطِ
|
Sesuatu yang digantungkan dengan syarat tertentu, maka ketetapan hukumnya wajib ada jika syarat itu ada
|
b. Maksud dan penjelasan Kaidah
Maksud dari kaidah ini adalah bahwasanya sebuah akad yang digantungkan dengan syarat tertentu, jika syarat itu ada (sudah dipenuhi), maka ketetapan hukum bagi akad itu wajib ada, karena sudah adanya syarat. Begitupun sebaliknya; apabila syaratnya tidak terpenuhi, maka akad itu juga tidak ada. Kaidah ini menjadi kelanjutan terikat dengan kaidah sebelumnya. Artinya syarat-syarat yang boleh digantungkan itu adalah syarat-syarat yang diperbolehkan syariat atau minimal tidak bertentangan dengan syariat, sebagaimana telah dijelaskan pada penjelasan kaidah sebelum kaidah ini.
Sebuah akad yang digantungkan pada syarat-syarat tertentu harus memenuhi dua syarat yaitu: 1) sesuatu syarat yang digantungkan itu belum wujud (tidak ada) saat terjadinya akad; jika syarat yang disebut itu sudah ada dalam majelis akad, maka syarat itu sia-sia tapi akad tetap sah, dan 2) sesuatu syarat yang digantungkan itu harus memungkinkan untuk ada atau dicari, jika mustahil secara akal, maka akadnya batal. Oleh karena itu, jika sudah memenuhi syarat, maka boleh menggantungkan sebuah akad menggunakan kata-kata yang berfungsi untuk penggantungan, seperti: kata jika, apabila, kapan, ketika dan lain-lain.
c. Aplikasi Kaidah
Diantara contoh aplikasi kaidah ini adalah apabila ada Abdurahman berkata pada Abbas: "jika anda bisa lulus dari kampus ini dengan cepat, maka aku akan membayar hutangmu pada Hamzah". Maka jika Abbas telah berhasil memenuhi syarat itu, maka Abdurahman harus membayar hutangnya Abbas pada Hamzah. Begitu juga, jika seorang pembeli berkata pada penjual: "jika anda punya mobil warna hijau, maka saya akan membeli mobil anda".
Atau seseorang memesan barang dengan syarat akadnya batal apabila pesanan tidak selesai dalam waktu satu bulan. Jika sebelum habis satu bulan barang telah selesai, maka si pemesan tidak bisa menuntut pembatalan akad tersebut. Karena sesuatu yang digantungkan dengn syarat tertentu, maka ketetapan hukumnya wajib ada, jika syarat itu ada.
Kaidah 3
a. Teks dan arti Kaidah
الْمَوَاعِيــدُ بِاكْتِسَـابِ صُـوَرِالتَّعَالِيقِ تَكُـونُ لَـازِمَةً
|
Janji-janji dalam bentuk ta'liq (digantungkan) adalah wajib
|
b. Maksud dan penjelasan Kaidah
Maksud dari kaidah ini adalah semua janji-janji dalam bentuk ta'liq (digantungkan) adalah wajib dipenuhi, jika sesuatu syarat yang telah digantungkan itu terpenuhi. Sebagaimana penjelasan kaidah sebelumnya. Namun sebaliknya, jika janji-janji itu tidak dalam bentuk ta'riq (digantungkan), maka tidak wajib dipenuhi. Ini adalah pendapat mazhab Hanafi yang bertentangan dengan pendapat sebagian besar mazhab. Karena mazhab lainnya berpendapat bahwa semua janji-janji, baik dalam bentuk ta'riq (digantungkan) atau tidak adalah tidak wajib dipenuhi. Ia hanya anjuran dan ciri akhlak terpuji, jika seseorang bisa menepati janjinya.
c. Aplikasi Kaidah
Diantara contoh aplikasi kaidah ini dalam fiqh muamalah adalah jika seseorang berkata kepada orang lain: "Juallah barang ini kepada fulan, jika dia tidak membayarmu, maka aku yang akan membayarmu". Setelah perintah ini dituruti dan ternyata fulan tidak mau membayarnya, maka orang yang memerintahkan tersebut wajib membayar sesuai dengan yang dijanjikan. Namun memenuhi janji yang tidak digantungkan, hukumnya tidak wajib. Maka, jika seseorang memerintah kan kepada orang lain untuk membayarkan hutangnya dan orang lain ini berjanji akan membayarkannya, namun dalam kenyataannya dia tidak membayarkannya, maka dia tidak boleh dipaksa membayarkannya.
Contoh yang lain, adalah apabila seseorang berkata kepada orang yang menitipkan bahwa jika orang yang meminjam atau orang yang menerima titipan merusakkan barang pinjaman atau barang titipan, maka dia akan menanggungnya. Lalu orang yang meminjam atau yang menerima titipan merusakkan barang tersebut, maka orang yang berjanji menanggungnya wajib menanggungnya berdasarkan janji yang dia gantungkan.
C. Kaidah tentang al-Tassaruf wa al-Milk (Tindakan Hukum terhadap Harta dan Kempemilikan)
Kaidah 1
a. Teks dan arti Kaidah
لَـا يَجُـوزُ لِـأَحَـدٍ أَنْ يَتَصَـرَّفَ فِي مِلْكِ الْغَيْرِ بِلَـا إذْنِهِ
|
Tidak dibolehkan bagi siapapun untuk melakukan tindakan hukum terhadap benda/hak milik orang lain tanpa izin pemilik
|
b. Maksud dan penjelasan Kaidah
Maksud dari kaidah ini adalah tidak diperbolehkan atau tidak halal bagi siapapun juga untuk melakukan tasarruf (tindakan hukum, seperti melakukan akad jual beli dan lainnya) terhadap benda/hak milik orang lain tanpa izin pemiliknya; baik tasarruf fi’li (perbuatan), seperti memakai benda milik orang lain; atau tasarruf qawli (perkataan), seperti melakukan akad jual beli benda orang lain atau menyewakan benda orang lain atau milik teman yang berserikat dengannya, selam semua tasarruf tersebut tanpa mendapat izin terlebih dahulu atau restu yang didapat belakangan. Sehingga juka benda yang dipakai tanpa izin itu rusak, maka ia harus bertanggung jawab.
Karena milik orang lain adalah sesuatu yang terjaga kehormatannya. Kehormatan ini tidak boleh dirusak dengan melakukan tasarruf tanpa izin pemiliknya; baik izin yang jelas (langsung) atau tidak langsung. Izin yang jelas atau langsung adalah seperti seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk menjual rumahnya. Sedangkan izin tidak langsung seperti seorang gembala menyembelih kambing majikannya yang hampir mati.
Adapun sesuatu yang senilai dengan posisi izin adalah perwakilan, perwakilan dan wasiat. Maka tasarruf terhadap harta/hak orang lain tanpa izin atau tanpa sifat yang memperbolehkannya adalah haram menurut syariat Islamdan tasarruf itu batal secara hukum.
c. Aplikasi kaidah
Diantara contoh aplikasi kaidah ini dalam fiqh mamalah adalah bahwasannya masing-masing anggota perseroan/perserikatan milik bersama dianggap sebagai orang lain berkaitan dengan hak milik perseroan tersebut. Oleh karena itu, masing-masing anggota bukanlah wakil dari temannya, sehingga tidak boleh men-tasarruf-kan bagian temannya kecuali telah mendapatkan izin dari teman kongsinya. Apalagi orang lain yang tidak punya bagian hak suatu benda dalam perkongsian; oleh karena jika ada orang yang menjual atau menyewakan benda milik orang lain, maka jual beli dan sewa itu tidak sah.
Adapun contoh men-tasarruf-kan hak orang lain adalah seperti seseorang yang mengaku sebagai wali anak yatim agar ia bisa men-tasarruf-kan harta anak yatim tersebut. Atau mengaku sebagai wali calon pengatin perempuan agar punya hak menikahkan.
Sedangkan contoh aplikasi kaidah ini dalam bidang perbankan syariah sebagaimana yang difatwakan oleh DSN adalah tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah dibidang Pasar Modal.
Kaidah 2
a. Teks dan arti Kaidah
الْـأَمْرُ باِلتَّصَرُّفِ فــيِ مِلْكِ الْغَيْرِ باَطِلٌ
|
Perintah untuk melakukan tindakan hukum terhadap benda/hak milik orang lain adalah hal
|
b. Maksud dan penjelasan Kaidah
Kaidah ini merupakan kelanjutan dari kaidah sebelumnya; sebagaimana men-tasarrufkan-kan, mewakili dan mewakilkan milik orang itu tidak sah (batal), apalagi memerintahkan orang lain untuk melakukan tindakan hukum terhadap benda/hak milik orang lain. Bahkan hal ini lebih besar dosannya, karena dua kesalahan sekaligus, yaitu kesalahanperintah dan kesalahan orang yang melakukan perintah itu.
c. Aplikasi Kaidah
Diantara contoh aplikasi kaidah ini dalam fiqh muamalah adalah jika ada yang memerintahkan kepada seseorang untuk mengambil barang orang lain, lalu membakarnya atau melemparkannya ke laut dan lain-lain, maka kedua perbuatan itu (pelaku dan orang yang memerintahkan) adalah sama-sama salah, namun tanggungan dibebankan kepada pelaku dan bukan kepada yang memerintahkan, kecuali jika pelakunya dipaksa. Persoalan antara pelaku dan penyebab atau orang yang memerintahkan akan dibahas secara khusus pada sebab berikutnya; kaidah tentang al-Mubashir wa al-Mutasabbib (pelaku dan penyebab).
Begitu juga, ketika ada seseorang yang tidak punya hak atau izin memerintahkan temannya untuk menjualkan benda milik orang lain, maka jual beli itu tidak sah.
Kaidah 3
a. Teks dan arti Kaidah
لـاَيَجُوْزُلـأِحَدٍأَنْ يَأْخًذَ مــاَلَ أَحَدٍ بلـاَ سَبَتٍ شَرْ عيِ
|
Tidak diperbolehkan bagi siapapun untuk mengambil benda orang lain tanpa alasan yang legal
|
b. Maksud dan penjelasan Kaidah
Kaidah ini bisa menjadi pelengkap bagi dua kaidah sebelumnya; jika syariat Islam melarang seseorang untuk melekukan tasarruf atau melakukan perintah tasarruf terhadap harta/hak orang lain, apalagi mengambil harta benda milik orang lain secara tidak syariat (tidak legal sesuai syriat Islam). Karena mengambil sesuatu lebih berat (dosanya) daripada melakukan tasarruf atau melakukan perintah tasarruf, sebab melakukan tasarruf atau memrintahnya masih ada harapan untuk memberitahu atau minta izin pemiliknya, sedangkan mengambil benda milik orang lain tanpa izin atau tidak legal itu ada indikasi mencuri atau minimal mengghasab.
Alhasil, maksud dari kaidah ini adalah bahwa Islam melarang siapa pun (walau orang tua, anak, suami atau isteri) mengambil harta milik orang lain (walau milik anaknya atau kerabatnya) dengan alasan apapun (walau bercanda), kecuali dengan alasan syar’i. Bahkan apabila seseorang mengambilnya dengan prasangka bahwa barang itu adalah miliknya, maka dia tetap wajib mengembalikannya apa adanya, jika masih ada atau dengan menggantinya dengan nilai atau ganti, jika sudah rusak atau hilang. Bahkan juga sekalipun karena lupa atau tidak sengaja. Karena lupa tidak bisa menjadi uzur jika terkait hak-hak orang lain. Di samping itu, sebab yang membolehkan mengambil harta orang lain haruslah sesuatu yang sesuai menurut syariat Islam, baik lahir maupun batin.
Maka, jika alasannya sesuai syariat hanya dari segi lahiriyah, sedangkan dari segi bathiniyah bertentangan dengan syariat, seperti seseorang yang berbohong pada hakim bahwa barang yang ada pada si A adalah miliknya, kemudian hakim mengabulkan klaimnya, maka secara lahiriyah ia boleh mengambil barang itu, tapi secara bathiniyah tidak boleh.
c. Aplikasi Kaidah
Adapun contoh aplikasi kaidah ini dalam fiqh muamalah adalah cukup banyak yang antara lain: jika ada seseorang yang mengghasab sepatu milik temannya, maka perbuatan itu termasuk dosa dan ia harus segera mengembalikannnya, bahkan ia harus menggantinya jika rusak atau hilang. Tetapi jika mengambil barang orang lain itu legal secara syariat lahir dan batin, seperti putusan hakim yang menetapkan seseorang harus diambil paksa semua set-aset yang dimilikinya untuk menutup semua hutangnya atau mengembalikannya pada negara, karena hartanya adalah hasil kejahatan atau penipuan.
Kaidah 4
a. Teks dan arti Kaidah
لـا َيَتِمُّ التَّبَرُّعُ إلّـَا بِقَبْضٍ
|
Pemberian sukarela tidak akan sempurna kecuali dengan diterima kontan
|
b. Maksud dan penjelasan Kaidah
Tabarru’ (sukarela) adalah memberikan harta yang halal kepada orang lain tanpa meminta balasan, seperti hibbah, hadiah, dan shadaqah. Disyaratkannya qabd (penerimaan) dari pihak yang diberi dikarenakan jika tabarru’ tanpa ada penerimaan, maka hal ini akan merombak kaidah yang telah mapan dalam fiqh, yaitu “seseorang tidak boleh memasukkan sesuatu dalam milik orang lain tanpa keridaannya”. Maksudnya seseorang tidak boleh memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa kerelaannya. Atau dengan kata lain, sesuatu tidak masuk dalam milik seseorang secara paksa kepadanya kecuali dalam warisan. Sehingga ketiika seseorang telah memberikan barangnya dan diterima oleh penerima, makaitu sudah cukup menjadi tanda keridaan pemberi.
Disamping itu, jika tabarru’ tidak sertai penerimaan, maka bagi mutabarra’ lah (penerima tabarru’) berhak menuntut mutabarri’ (pemberi tabarru’) untuk menyerahkan barang tabaarru’. Sehingga tabarru’ menjadi akad tanggungan (daman) dan ini boleh terjadi. Atas dasar ini, apabila belum terjadi penerimaan sedangkan mutabarri’ atau mutbarra’ lah meninggal dunia, maka tabarru’ menjadi batal.
Sahnya penerimaan oleh mutbarra’ lah disyaratkan dengan izin mutabarri’ secara jelas, seperti perkataannya, “terimalah” atau “aku telah mengizinkanmu untuk menerima”. Terkadang izin dilakukan dengan secara tersirat seperti mutbarra’ lah menerima barang di majelis akad dan tidak dilarang oleh mutabarri’. Disyaratkan juga barang yang diserahkan tidak disibukkan dengan yang lain saat penyerahan. Jika seseorang menghibahkan binatang yang diatasnya ada barang bawaan, atau rumah yang di dalamnya terdapat barang-barang milik pemberi hibah, atau menyerahkan beserta dengan perkara yang menyibukkan tersebut (barang yang tidak termasuk dalam hibah), maka penerimaan tidak sah.
Syarat yang lainnya adalah barang diserahkan merupakan sesuatu yang menjadi obyek penerimaan. Jika seseorang menghibahkan sesuatu yang berada dalam perut kambing miliknya, maka penerimaan tidak sah, walaupun anaknya bisa diterima setelah terlahir.
Syarat yang lainnya adalah barang yang diserahkan tidak berhubungan dengan barang lainnya. Karena hal itu masuk dalam makna umum. Jika seseorang menghibahkan tanaman tanpa tanah atau tanah tanpa tanaman., ataupun buah tanpa pohon atau pohon tanpa buah, lalu menyerahkan semuanya, maka penerimaannya tidak sah.
Terakhir syarat penerima, harus orang yang ahli untuk menerima. Maka tidak boleh penerimaan yang dilakukan oleh orang gila atau anak kecil yang belum tamyiz. Namun, penerimaan boleh dilakukan dengan cara kewilayahan yang memperbolehkan menerima seperti ini. Maka penerimaan seseorang boleh diwakili wali atau penanggungnya.
Alhasil, sebuah pemberian yang bersifat tabarru’ belum sempurna hukumnya, ketika belum ada penerimaan langsung (qabd) oleh penerima, walau akad tabarru’ sebelum qabd sudah dianggap sah.
c. Aplikasi Kaidah
Dianatara contoh aplikasi kaidah ini adalah misalnya seseorang berkata pada temannya: “Aku hibahkan untaku yang ada dikandangku kepadamu”. Lalu dia menjawab: “Saya terima,” lalu orang tersebut segera pergi ke kandang dan mengambil unta yang dimaksud, bahwasanya hibah tersebut tidak perlu sebelum pemiliknya mengatakan: “Pergilah ke kandang dan ambillah.” atau dia pergi bersamanya lalu menyerahkannya kepada orang yang diberi hibah tersebut. Adapun mengambil tanpa seizin yang memberi , maka hal ini tidak dibolehkan, kecuali untuk barang yang berada di tangan orang yang diberi hibah, misalnya seseorang meminjam sebuah buku dari orang lain, maka ia tidak perlu izin dari orang yang menghibahkannya. Pemilik buku itu berkata: “aku hibahkan kepadamu bukuku yang engkau pinjam dariku”. Maka tidak perlu dikatakan: “Apakah engkau mengizinkan aku untuk mengambilnya?”
Seseorang yang telah memberi hibah tidak boleh menarik kembali hibahnya yang telah berlaku, dan ia boleh mengambil dan memeiliki harta anaknya selama ia tidak menimbulkan kemudharatan kepadanya dan ia pun tidak membutuhknnya. Misalnya: Ada seseorang yang mengatakan kepada orang lain: “Aku hibahkan salah satu mobilku kepadamu, “lalu oarang tersebut menjawab: “Aku terima,” namun setelah menghibahkan mobil tersebut, dia menariknya kembali, maka hal itu diperbolehkan. Sebab hibah tersebut belum diterima oleh orang yang diberi, padahal hibah belum berlaku kecuali setelah adanya qabd (penerimaan dari orang yang diberi). Namun bila seseorang berkata: “Aku tarik kembali hibah tersebut, padahal hibah tersebut telah berlaku aatau diterima, maka diharamkan baginya untuk menarik kembali hibahnya tersebut.
Kaidah 5
a. Teks dan arti Kaidah
التَّصَــرُّفُ عَلــىَ الرَّعيَةِ مَنُوْ طٌ باَلْمَصْلَحَةِ
|
Kebijakan (pemimpin) atas rakyatnya harus berdasarkan pada kemasalahatan
|
b. Maksud dan penjelasan Kaidah
Makna kata tasarruf dalam kaidah ini sedikit berbeda dengan kaidah-kaidah sebelumnya.Secara bahasa sama-sama berarti “sebuah tindakan”,namun secara konteks yang disesuikan dengan runtutan kalimat,maka ada perbedaan.Jika kaidah-kaidah sebelumnya terfokus pada harta benda,maka makna tasarruf adalah melakukan tindakan hukum terhadap harta,seperti jual beli,hibbah,sewa menyewa dan sejenisnya.Sedangkan makna tasarruf dalam kaidah ini lebih mengarah kepada tindakan hukum berupa kebijakan dan politik.
Rakyat adalah mereka yang ada di bawah orang yang telah diangkat secara legal sebagi pemimpin untuk memimpin dan melayani mereka.Dalam konteks ini,pemimpin yang dimaksud adalah mulai tingkat tinggi dengan wilayah yang luas,seperti presiden sampai tingkat rendah dengan wilayah yang sempit, seperti ketua Rukun Tangga (RT) dan lain-lain.
Imam Nawawi mengatakan, “Para ulama mengatakan bahwa pemimpin adalah orang yang menjaga, terpercaya, dan displin dengan kebaikan tanggungjawabnya terhadap segala sesuatu yang menjadi tanggungjawabnya, dia dituntut bertindak adil dan menjalani kemaslahatan-kemaslahatan agama, dunia, dan segala yang berkaitan dengannya. Dan juga penguasa wajib memberikan nasehat terhadap rakyatnya dan bersungguh-sungguh untuk kemaslahatan-kemaslahatan rakyatnya dalam agama dan dunia.
Dari kaidah ini dapat disimpulkan bahwa pemimpin kaum muslimin memiliki wilayah pengawasan atas rakyat secara umum dan dalam urusan umum, maka tindakan dan kebijakannya terhadap rakyat harus berdasarkan kemaslahatan umum. Sebab, sesungguhnya kepemimpinan diberikan kepadanya untuk kemaslahatan, menjaga darah, kehormatan, dan harta rakyatnya. Barangsiapa yang memegang urusan manusia, maka dia harus bertindak untuk mewujudkan kemaslahatan, karena dia tidak berkuasa terhadap mereka dan tidak diberi kekuasaan dalam batas-batas kekuasaannya, kecuali untuk melayani orang yang berada dibawah tanggungjawabnya, menegakkan keadilan di antara mereka, dan mewujdkan kemaslahatan dan kebaikan untuk mereka.
Alhasil, kebijakan para pemegang urusan (pemimpin) tidak ianggap legal menurut syara’ kecuali untuk kemaslahatan manusia atau rakyatnya secara umum, karena kebijakan (pemimpin) atas rakyatnya haus berdasarkan pada kemaslahatan.
c. Aplikasi Kaidah
Diantara contoh aplikasi ini adalah bahwa penguasa tidak diperbolehkan memberikan jabatan umum kecuali kepada orang kapabel. Penguasa tidak diperbolehkan menyetujui sesuatu dari kerusakan atau perkara haram seperti perumahan (gedung) yang dipergunakan untuk hura-hura, pelacuran, perjudian, dan minim-minuman keras, walaupun dengan alasan sumber pendapatan pajak. Peraturan yang wajib diperhatikan pemimpin dalam memberikan jabatan atau kekuasaan, kecuali kepada orang yang mampu mendatangkan kemaslahatan manusia dan menolak kerusakan.
Dan masih banyak contoh lagi kebijakan pemerintah dalam bidang fiqh muamalah yang seharusnya bebbais maslahat, seperti kebijakan pemerintah dalam sektor ekonomi harusnya berpihak kepada sektor ril dan ekonomi rakyat kecil dan menengah. Karena dengan memfokuskan kemaslahatan pada sektor ril dan ekonomi rakyat kecil dan menengah akan lebih maslahat, sebab kebanyakan masyarakat Indonesia berada disitu.
Adapun contoh aplikasi kaidah ini dalam bidang perbankan syariah sebagaimana yang difatwakan oleh DSN adalah tentang Surat Berharga Syariah Negara dan beberapa contoh yang lain sama dengan sebagian contoh aplikasi kaidah kubra tentang al-darar wa al-maslahah (bahaya dan maslahat), yaitu Pasar Bank Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah, Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (Sertifikat IMA) dan Asuransi haji. Sebagian lagi sama dengan contoh aplikasi kaidah kubra tentang al-mashaqqah wa al-taysir (kesulitan dan kemudahan), yaitu: Sertifikat Wad’iah Bank Indonesia, Sertifikat Bank Indonesia Syariah ( S B I S) dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah Ju’alah ( SBIS Ju’alah).
Bab III
Penutup
Kesimpulan
Pengertian dan Identitas Kaidah al-Baqa’ wa al-Ibtida’ (Kelanjutan dan Permulaan)
Adapun maksud dari kaidah ini adalah sesungguhnya sesuatu yang tidak boleh dilakukan secara permulaan. Akan tetapi boleh dilanjutkan (dibiarkan), jika sudah terlanjur ada. Karena sesuatu yang sudah ada (berlangsung) lebih mudah dimaklumi daripada permulaannya.
Pengertian dan Identitas Kaidah al-Shurut (Syarat)
Maksud dari kaidah ini adalah kewajiban memenuhi persyaratan yang diminta salah satu dari kedua belah pihak yang bertransaksi dan disepakati bersama. Namun sesungguhnya kewajiban memenuhi syarat dalam sebuah transaksin (akad) adalah jika sesuai kemampuan.
Pengertian dan Identitas Kaidah al-Tasarruf wa al-Milk (Tindakan Hukum terhadap Harta dan Kepemilikan
Maksud dari kaidah ini adalah tidak diperbolehkan atau tidak halal bagi siapapun juga untuk melakukan tasarruf (tindakan hukum, seperti melakukan akad jual beli dan lainnya) terhadap benda/hak milik orang lain tanpa izin pemiliknya; baik tasarruf fi’li (perbuatan), seperti memakai benda milik orang lain; atau tasarruf qawli (perkataan), seperti melakukan akad jual beli benda orang lain atau menyewakan benda orang lain atau milik teman yang berserikat dengannya
Saran
Berakhirnya makalah tentang Qawaidul Fiqhiyah ini, penulis mengharap kepada para mahasiswa untuk lebih mempelajari secara mendalam tentang isi makalah. Karena penulis merasa makalah ini kurang lengkap dan kurang sempurna.